Minggu, 19 Maret 2017

Astaga, Bapak ! part 3

"Jangan kurang ajar lo yaa rif! Inget status gue itu udah nikah! Dan jangan lo kira, kalo gue curhat sama lo, itu berarti lo boleh pegang-pegang gue, rif!", hardik Linda sambil berdiri memaki-maki dan menunjuk-nunjuk arif yang duduk di dekatnya.

Linda baru saja mencaci maki arif, salah satu sahabat dekatnya di kantor. Bagaimana tidak, arif yang dipercaya dan sedang menjadi tempat curahan hati oleh linda usai makan siang, bukannya mendengarkan dengan baik malah memanfaatkan momentum tersebut untuk menyentuh dan meraba tangan linda yang halus. Awalnya, ketika arif menyentuhnya, linda tak merespon apapun karena terlalu serius bercerita. Namun, linda perlahan sadar dan merasakan gerak-gerik mencurigakan telapak tangan arif beserta jari-jarinya yang mengelus dan meremas tangan linda. Wanita itu tentu tidak sudi diperlakukan seperti itu apalagi statusnya sudah sah menjadi istri orang. Ingin dalam hatinya linda menggampar pipi arif sekeras-kerasnya. Akan tetapi, ia tidak ingin berbuat keributan di kantor. Terlebih, situasi ekonomi linda sedang sulit. Kalau atasannya tahu, ia bisa diomeli dan diberi sanksi. Apalagi kalau sampai mendapat sanksi dipecat, habis sudah nasib dia karena sang suami belum juga mendapat pekerjaan.

"Santai lin.. santaiii....", ucap arif panik sambil menenangkan linda.

"Yaudah, supaya gue bisa santai, mendingan lo sekarang pergi deh dari tempat gue, rif! Mood gue di kantor sekarang jadi kacau gara-gara lo..!".

"Oke, oke lin, gue pergi sekarang...", ucap arif beranjak menjauhi linda.

Setelah melihat dan memastikan arif menjauh, mimik muka linda sebal. Hati linda yang tadi lega karena baru saja mengeluarkan beban pikiran kini menjadi kacau gara-gara arif. Tensi wanita itu pun ikut naik. Linda duduk di kursinya sambil mencoba menenangkan diri sendiri dan memasukkan tempat bekal yang sudah kosong tanpa makanan ke dalam sebuah plastik berwarna putih yang ia bawa. Hawa yang dirasakan wanita itu sekarang ingin buru-buru pulang ke rumah kontrakkanya. Namun, izin apa yang bisa membolehkannya pulang.

"Linda,.. linda.., lin...", panggil seorang wanita berumur 54 tahun sambil menenteng cucu laki-lakinya yang berumur 5 tahun.

"Eh?! ibu?! ada apa ya?", jawab linda panik karena yang barusan memanggil namanya adalah atasannya, ibu indri. 

"hemm, kamu ngelamun yaa?", balas ibu indri sambil memperhatikan wajah bingungnlinda

"Engg, enggak kok, bu. Eh iya tadi ada apa ya, bu?", tanya balik linda mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Hemm, Gini, tadi saya denger-denger ada keributan kecil, itu ada apa ya?".

"Emm, enggak ada apa-apa kok bu. Ibu lihat sendirikan di sini tenang-tenang aja", jawab linda memperlihatkan keadaan di sekitarnya.

"iya sih, tapi..."

"ohh itu mungkin tadi saya sama arif kali bu.. saya tadi sama arif kan lagi bercanda sambil ngomongin yang lucu-lucu. Yaudah kita berdua tertawa bareng deh bu..", terang linda berbohong.

"Masa sih?", jawab ibu indri ragu.

"Iya bener kok, bu", Linda mencoba mengiyakan.

Ibu indri terdiam sejenak mencoba mengingat memori yang dia simpan seakan ia tak mudah percaya terhadap apa yang linda sampaikan. Linda yang melihat ibu indri terdiam berpikir, tentu tak mau atasannya tersebut kembali bertanya dan kembali meragukan pernyataan yang ia katakan, sontak melihat anak kecil yang ada di dekat ibu indri, linda mencoba mengakrabkan diri.

"Halo adik kecil, siapa namanya?", linda berjongkok mengimbangi tingginya dengan anak itu.

Disapa manis penuh murah senyum seraya memberikan salam, anak itu tiba-tiba berlindung malu di balik sang nenek. Ia tak biasa dengan orang asing apalagi dengan linda, orang yang baru dia lihat. Sambil mengintip sedikit dibalik tubuh sang nenek, anak itu memperhatikan linda yang anggun dan ayu tersebut mencoba menyapanya.

"ci luk...ba....", linda memperhatikan cucu ibu indri yang sedang malu-malu.

"Hayoo dong dimas, kasih salem ke tantenya.. masa cucu nenek malu begitu..", pinta sang nenek.

Akan tetapi, dimas tetap tidak mau. Pemalunya masih terlihat jelas yang terus berlindung di balik sang nenek.

"yaudah gapapa bu. Memang anak kecil pemalu, gak usah dipaksa juga".

"lucu yaa bu..cucunya... emm bapak ibunya memang kemana? kok dia bisa ikut ibu ke kantor?".

"Bapak ibunya pada ngantor, lagi sibuk mereka. Karena ini anak deket sama saya, yaa saya ajak aja. Hitung-hitung main sama cuculah". tersenyum ibu indri.




### ​

Pada jam istirahat yang sama di kantor yang berbeda, suhardi tampak sedang asyik mengbrol dengan kawan-kawannya sesama pekerja sambil menghisap rokok dan menyeduh kopi di kantin tempat kerjanya. Kepulan asap rokok dimana-mana, dengan kerah kancing atas yang terbuka hingga terlihat keringat lelah mengucur dari leher karena panas yang menyengat, para pekerja itu sedang asyik berbagi cerita pasca makan siang . Bermacam-macam cerita yang diuntaikan, mulai dari cerita lucu hingga cerita hati yang pilu sekaligus mengikis karena salah satu pekerja ada yang istrinya sedang dirawat di ICU sebuah rumah sakit. Di lain hal, ada pula pekerja-pekerja yang sedang asyik sendiri dengan ponsel mereka sembari memperdengarkan lagu dangdut agar dinikmati bersama. Lainnya ada yang sedang diam-diam menyetel video porno dalam ponsel yang dimiliki jauh dari mereka yang sedang berkerumun. Dengan wajah serius, mata melototi layar ponsel, dan kedua telapak tangan memegang erat ponsel, Marno ialah orang yang dimaksud. Lelaki berumur 44 tahun dan sudah beristri itu merupakan salah satu kawan suhardi. postur tubuhnya sama seperti pekerja lainnya. Tak ada yang istimewa darinya kecuali perut yang buncit. Ia dikenal dekat dengan suhardi. Ketika beristirahat mereka kerap merokok dan berbagi cerita bersama. Yang paling sering ialah tentang keluarga masing-masing

"Eh, no, asyik sendiri aja lo...lagi ngapain sih, kayaknya serius amat?", sapa suhardi penasaran

"Eh, iya nih", jawab marno sambil memperhatikan video porno dalam ponselnya.

"Widiih.. udah berumur masih aja nonton film porno", ucap suhardi melihat apa yang disaksikan marno dengan serius di ponsel.

"Iya dong. Hitung-hitung nanti dipraktekkin ke istri hehe".

Tiba-tiba Suhardi tersenyum.

"Eh, kenapa lo senyum-senyum sendiri? Jangan bilang lo kepengen minta film porno gue..."

"Gak usah... gue gak demen sama film begituan", tolak suhardi mentah-mentah.

"gaya lo har, har....", sahut marno menyikapi penolakan suhardi.

"Eh, iya, Istri sama anak lo apa kabar?", tanya suhardi mengalihkan pembicaraan.

"Alhamdulillah Sehat. Eh, anak lo si Yuda gimana? masih aja kelakuannya males?", jawab marno berhenti menonton film pornonya.

"Heemm, dibilang enggak, ya enggak. Dbilang iya, iya. Intinya ada perubahanlah. Meski, tuh anak malesnya suka kambuhan".

"Ohh baguslah yang penting ada perubahan. Eh iya har, gue mau ngomong sesuatu nih..."

"Ngomong apaan?", ucap suhardi amat penasaran sambil menatap serius mata marno.

"Hemm, Nanti aja kali yak har...".

"Yeee lo gimana, orang tinggal ngomong aja kok...", balas suhardi yang tidak suka dibuat penasaran.

"Entar aja deh,..."

Tiba-tiba dari kejauhan, salah seorang kawan dari mereka yang sedang berkumpul dengan kawan lainnya memperhatikan suhardi dan marno asyik berduaan, berbicara satu sama lain, melampiaskan rasa lelah bersama. Tak ragu ia pun berteriak memanggil dengan suara yang lantang, yang merambat melalui udara hingga telinga suhardi dan marno menangkapnya.

"Suhar! Marno! Ngapain lo berduaan aja di sana?! sini gabung lahh...!".

"Okee! Yuk, har kita ke sana", ajak marno sambil beranjak berdiri seraya memasukkan ponsel yang ia genggam ke saku celana panjangnya.

"yup, yuk, kita ke sana", balas suhardi yang mudah teralihkan.

Marno dan suhardi pun berjalan melangkahkan kaki mereka ke tempat kawan mereka yang sedang berkumpul. Jam istirahat tampak segera akan berakhir. Beberapa yang merokok dan menyeduh kopi tampak sudah siap untuk kembali bekerja. Sisanya masih sedang menghabiskan. Suhardi yang sibuk mendengarkan salah seorang kawan bercerita diperhatikan oleh marno yang mendadak tersenyum. Entah apa makna di balik senyum itu.

###​

Tengah hari yang terik itu tampak mulai bergeser seiring waktu yang terus berjalan. Gumpalan awan cumulo nimbus yang tadinya putih suci membuka ruang bagi mentari untuk menyinari bumi, kini perlahan menghitam seraya menyambut sore. Matahari meredup. Awan gelap menyelimutinya. Pertanda hujan amat kuat. Di sisi lain memang ini kenyataan bahwa musim tak lagi menentu, tak lagi mudah diprediksi. Orang dulu bilang ini masa pancaroba, orang sekarang bilang ini akibat pemanasan global. Entahlah mana yang benar. Yang terpenting, aku masih belum mau beranjak bangun dari kasur kapukku ini, yang selalu kutuntut bapak agar lekas menggantinya dengan kasur busa. Namun, bapak selalu beralasan kalau uangnya belum ada. Aku pun tertawa. Mengapa bapak bisa beli motor, sedangkan kasur busa saja tidak terbeli. Hmm, mungkin aku saja yang tidak terlalu tahu kondisi keuangan keluarga ini.

Cuaca panas saja aku tidur, apalagi suasana yang berangin lembut seperti ini, selagi menyambut hujan yang akan membasahi dedaunan kering dan menyejukkan suasana di sekitarku. Ah, Aku saja yang dasarnya malas ini memang memilih untuk melamun sejenaķ tentang tiga hal yang membuatku bertanya-tanya akhir-akhir ini. Telah kubagi ia menjadi tiga benda dari yang kupertanyakan, laptop, kamera, dan anak. Dua benda terasa saling berhubungan. Satunya lagi tidak sama sekali. Laptop, kiranya ibu yang mematikan kemarin, tentu ia yang selalu mengingatkan akan menegurku esoknya, agar jangan sampai ketiduran di depan laptop yang menyala dan tersambung listrik. Jika bapak, hhhmmmm... aku masih sangat yakin kalau dia yang mematikan laptopku. Hanya saja, aku bingung kenapa dia yang suka mencak-mencak kepadaku malah diam saja. Kalau dia tahu aku menonton film dewasa, sudah seharusnya ia marah besar. Aduh, kalau begini, kalau bukan bapak, lalu siapa lagi.... Tentang anak? yang ini aku paling bingung dan menguras otak karena setahuku memang pamanku itu belum punya anak. Aku pun tak tahu banyak hal tentang ini. Huh.. Jadi, anak siapa sih yang dimaksudkan ibuku tadi siang?

"Yudaaa! yudd! bangun yudd!".

"Iyaa bu! yuda udah bangun kok...", sahut diriku merespon teriakan ibu.

Sedang asyik berbaring melamun, kulihat Ibu pun muncul. Ia yang kudengar berteriak memanggil-manggil namaku hingga suaranya menggema ke seluruh ruangan, menampakkan wajah cantiknya ke dalam kamarku. Parasnya yang cerah kulihat jelas sedang mengenakan pakaian hariannya di rumah, kaos u-neck polos yang selalu ngepas di tubuhnya yang berisi. Kali ini ia memakai yang berwarna merah menyala, membuat yang melihat, termasuk aku gerah saja, padahal semilir angin sedang bertiup. Tubuhnya yang melekak-lekuk. Lengan yang sintal beserta kulit yang mulus yang dengan bebas bisa kulihat. Jenjang leher yang indah dan menggoda hingga para lelaki tentu ingin mencumbu. Sampai pada dua payudara kencangnya yang selalu menonjol, yang bisa membuat pria ngiler dan terangsang untuk mencicipi dan menjilati. Hanya saja, pinggangnya tak terlalu ramping. Tubuhnya yang sudah berumur membuat plak emak amat mudah menggemukkan tubuh ibu. Beruntung ia masih rutin berolah raga ringan dengan bapak, yakni lari pagi. Selain itu, kesan seksi pada ibu sepertinya juga kalah dengan 'kesemokkannya'. Para lelaki dewasa akan lebih menyebut ibu itu semok, montok, bukan seksi. Ah, yasudahlah, aku tidak terlalu memikirkan diksi-diksi tersebut dan bagaimana rupa bentuk tubuh ibu. Tapi, yang jelas ibu akan selalu kucintai. 

"Hey, yud, yuda.... ibu ngomong kok malah diem".

"Eh? Ibu memangnya tadi ngomong apa ya?", ucapku yang terbawa lamunan.

"Aduh, yuda, yuda, masih muda kok udah kurang denger,... yasudah, sekarang sana kamu keluar dan cuci mukamu dulu di kamar mandi. Habis itu, kamu temui ibu di ruang tamu. Ada yang ingin ibu bicarakan".

"Emm, memangnya mau ngomong apa, bu?", tanyaku yang ingin tahu.

"Udah sana cuci muka dulu!", perintah ibu dengan suara tinggi.

Karena penasaran sekali, perintah ibu lekas kuturuti. Kuberanjak dari kasurku yang selalu kubiarkan spreinya berantakan. Kubiarkan pula bantal yang sarungnya tak pernah kuganti dalam posisi terjatuh ke lantai. Sesudah terbangun dan berdiri, kuluruskan kaki sejenak, kugerakkan pula badanku ke kiri dan ke kanan secara bergantian. Tak hanya itu, ku sempatkan hirup udara yang sedang kencangnya karena hujan tampaknya akan tiba.

"Yudaa! sana buruan cuci muka! Malah masih di sini!", perintah ibu yang memperhatikanku belum juga beranjak ke kamar mandi.

Tanpa berkomentar, aku lekas buru-buru ke kamar mandi. Langkah yang awalnya cepat perlahan melambat menikmati tubuh yang sedang bugar seusai beristirahat. Aku tersenyum. Alangkah enaknya kalau hidup hanya beristirahat saja. Tak perlu cape cape mengeluarkan keringat yang terbuang percuma, yang membuat tubuh ikut lelah juga. Tinggal makan-tidur. Mungkin aku lebih baik tinggal di hutan saja. Yang bebas mencomoti buah dan berburu hewan untuk dipanggang lalu dimakan. Hanya saja, di hutan tidak ada wanita cantik... tidak ada hiburan. Yang ada juga aku bakal menjadi santapan empuk bjnatang buas.

Sesampai di dalam kamar mandi, kuambil gayung berisi air yang banyak hingga memenuhi ruang gayung tersebut. Lalu, ku taruh ia di atas bak mandiku yang sudah berlumut tak pernah disikat. Kedua telapak tanganku sisinya kemudian saling menempel dan merapat. Kemudian kumasukkan keduanya ke dalam air yang terdapat di dalam gayung. Kedua telapak tanganku sejenak merasakan dingunnya air. Lalu barulah ia menampung dan mengangkat secukup air yang langsung buru-buru kubasuhkan ke mukaku berulang kali.

"Byuuussshhhhhhh, segernya....". 

Setelah wajahku ini terbasuh air yang membasahi, aku berpikir sejenak. Apa sih yang ingin ibu bicarakan di ruang tamu. Hhmm... penasaran diriku dibuatnya. Kucari-cari dan ku terka-terka apalah kiranya itu. Aduh, jangan-jangan?! Wajah dan diriku ini tiba-tiba panik.

####​

"Mau ngomong apa, bu? kayaknya penting banget", ucapku duduk di bangku saling menghadap dengan ibu.

"Gini yud, malam ini kan rencananya om firman sama tante linda akan nginep di rumah kita."

"Oh, terus?", ucapku.

"Nah, karena gak ada kamar lagi, kamu mau kan kamar kamu di tempatin om firman sama tante linda untuk sementara waktu?", tanya ibu menatapku serius.

"Hemm gimana yaa bu. Memangnya rumah kontrakkannya om firman kenapa?".

"Kamu gak perlu tahu. Intinya sekarang kamu mau apa enggak", timpal ibu.

"Tapi, sampai berapa lama dulu bu?".

"Sampai waktu yang gak bisa ditentuin", ucap ibu menunggu jawabanku

"Wadduuhhh....", sahutku terkejut.

"Gimana? mau apa enggak?".

"Nanti aku tidur dimana, bu?", tanyaku heran.

"Kamu tidur deket tv. Gelar tiker di sana", ucap ibu yang sudah kesal raut mukanya menanti jawabanku 

Aku berpikir sebentar sebelum menjawab pertanyaan ibu karena yang menjadi korban sesungguhnya ialah aku yang harus rela kamarnya ditempati om firman dan istrinya. Sementara diriku ini harus pindah tempat tidur ke dekat tv dengan hanya beralaskan tikar. Hhmm ku coba timbang untung ruginya. Yang jelas aku benar-benar rugi karena tidak mempunyai kamar pribadi dan juga ranjang untuk berehat. Tidur siang pun nanti kusulit. Lain halnya lagi ialah bapak jadi lebih mudah mengawasi dan memantau gerak gerik diriku yang masih digerogoti penyakit malas. Tidak ada kamar bagiku ialah tiada tempat berlindung dari amatan bapak. Tapi, dipikir-pikir kalau melihat tante lindanya, entah kenapa aku jadi rela begitu saja. Aku yang ngefans dengan keramahannya. Aku pula yang ngefans dengan bentuk tubuhnya yang aduhai mempesona. Jadi, kalau om firman menginap di sini, itu berarti hari-hariku akan berjumpa dengan tante linda. Keseharianku juga akan melihat tonjolan payudaranya yang mengundang selera, termasuk bentuk bokongnya yang bulat itu. huh...

"Iya, deh bu". 

###​

Di tempat berbeda hujan telah mengguyur deras, mengusir debu jalanan, melenyapkan polusi yang tiap hari menjadi santapan. Awan kelabu menutupi langit yang gelap hingga matahari pun senyap. Siang dan sore susah ditebak. Jalanan yang basah di sebuah bangunan industri farmasi tampak mulai retak-retak. Entah mengapa para pekerjanya satu per satu keluar, oh ternyata mereka hendak pulang ke rumah. Ada yang membawa payung lalu lekas membukanya seraya langsung memayungi yang tidak. Ada yang berlari mencapai kendaraan roda dua mereka, lekas buru-buru mengambil dan mengenakan jas hujan. Ada pula yang menunggu dan menanti air bah dari langit ini reda. Hhmn ...jam pulang kantor tampaknya sudah tiba di perusahaan tempat bekerja linda.

Seperti biasa sore itu, di tengah hujan yang mengguyur lebat linda menunggu di pos satpam kantornya. Di sanalah wanita itu menunggu jemputan sang suami tercinta. Ketika yang lain masih menunggu hujan berhenti di dalam kantor, linda yang khawatir sang suami sudah menunggunya, dengan langkah cepat sambil menutupi kepalanya dengan blazzer hitam yang ia kenakan, berjalan menuju pos satpam. Kecewa ia setibanya di tempat. Nyatanya sang suami belum datang. Ia coba duduk tenang sejenak di kursi kayu panjang dekat pos satpam tersebut sembari menikmati hujan yang ia upayakan bisa mengusir kekecewaannya. Tas kantor berukuran kecil yang berselempang miliknya ia letakkan di samping, ditutupi blazer hitamnya yang basah. Wanita itu kini hanya tertutupi oleh kemeja formalnya yang berwarna putih dan juga celana panjang hitamnya yang terlipat hingga lutut. Linda yang mengenakan alas kaki tak ber-hak tersebut, menatap ke arah langit seakan bertanya kepada Tuhan kapan hujan ini berhenti, kapan sang suami kesayangan tiba menjemputnya.

"Eh ada mba linda...lagi nunggu jemputan suaminya ya?", sapa pak tigor yang sedang menunggu di pos.

"Iya nih pak, kayak bapak gak hafal aja hehe", senyum linda.

"Masih hujan nih mba, buru-buru banget pulang".

"Iyaa pak, tadinya sih enggak, khawatir mas firman udah nunggu aja. Eh, tahu-tahunya dia belum datang", cemas linda menunggu suaminya.

"Oh. Lagi nunggu hujan reda juga kali suami kamu".

"Barangkali sih iya pak, tapi gak tahu juga nih. Aku coba hubungi tapi teleponnya gak diangkat..hhmm".

Pak Tigor yang menyapa linda tampak berbahagia. Wajah sangar lelaki itu tiba-tiba sumringah. Ia senang bisa bercakap-cakap dengan linda kembali yang merupakan kesehariannya tiap linda pulang kantor selagi menunggu sang suami. Sekarang ia coba duduk di dekat linda, mengulang apa yang sudah biasa. Matanya memandang ke arah mata dan bibir linda yang sensual. Dalam hati pak tigor, ia yang sudah memiliki hubungan akrab dan dekat dengan linda ingin meminta lebih dari itu. Ia punya niatan ingin menyetubuhi linda. Karena terlalu akrab dan sering memperhatikan, pak tigor perlahan terangsang jika teringat linda. Apalagi ia jauh dari sang istri dan hanya sering masturbasi. Kini, sorot mata tajam penjaga keamanan itu sudah turun ke arah dada linda. Ia melihat kemeja formal linda agak transparan, sedikit terbasah karena hujan hingga tanktop hitam berdada rendah yang wanita itu kenakan terlihat. Tak hanya itu, pak tigor juga melihat belahan gunung kembar di balik tanktop tersebut, ingin sekali kepalanya ia sandarkan di sana. "Linda oh linda..."

"Pak, pak, pak tigor ?!", sahut linda.

"Eh, iya mba, ada apa ya?", terkejut pak tigor yang bertubuh kekar itu.

"Sih bapak hujan-hujan gini malah ngelamun. Hujannya makin deres nih pak... gimana yaa...", cemas linda

"Emm yaudah tunggu aja mba. Intinya suami mba pasti dateng kok", ucap pak tigor menenangkan.

"semogaa yaa pak...".

Kali ini pak tigor sepertinya sedikit kecewa. Linda tak mengajaknya bercengkerama. Padahal, justru itu yang diharapkan pak tigor. Hatinya sedikit menggerutu. Tangannya mengepal karena kesal. Arah matanya tak tentu arah. Telapak kaki yang tertutup sepatu hitam bergoyang-goyang. Mendadak arah mata pak tigor tertuju pada bukit kembar linda yang tertutup tanktopnya. Penasaran sekali lelaki itu dibuatnya hingga ingin melihat bentuk puting linda. Puting yang ia harapkan dapat segera menghisapnya. Ukuran lingkar payudara linda terlihat cukup besar oleh pak tigor, belum lagi dengan kepadatannya yang serasa buah dada linda ingin menyembul keluar dari balik tanktop. Pak tigor berfantasi. Alhasil, khayalan itu membuat Penis pak tigor pun jadi ereksi. Gemas ia dengan sikap linda yang seolah sedang mencuekkinya. Ingin ia remas dan jamah susu linda sebagai pelampiasan.

"Linda! lin!...linda!", teriak seorang lelaki memakai jas hujan yang sudah basah kuyup.

"Mas firman?! sebentar mas! pak saya duluan yaa...",pamit linda kepada pak tigor sambil membawa blazer dan tas kantor selempangnya.

"Iya mba linda, hati-hati", pesan pak tigor.

Pak tigor lekas berdiri, menatap ke arah linda yang meninggalkannya pergi. Di bawah hujan deras wanita itu berjalan menghampiri suaminya yang meminggirkan motornya di seberang kantor. Sesampai dekat suaminya, linda diberi sebuah jas hujan oleh sang suami agar ia lekas kenakan. Tanpa basa basi dan sebelum kuyup semua tubuhnya, linda buru-buru mengenakan. Sempat ia lihat kemeja formalnya yang agak transparan karena terpercik air hujan. Ia pikir pantas saja menurutnya tadi pak tigor melamun. Jangan-jangan dia menerawang tubuh bagian dalamnya yang terbalut tanktop hitam. 

"Linda, ayo buruan lin... hujannya deres banget nih", sahut sang suami.

"Iya mas".

Linda secepat mungkin mengenakan jas hujannya. Sementara sang suami sudah sigap dari tadi menunggu linda lekas naik. Tak lama, barulah setelah itu tanpa aba-aba linda menaiki motor sang suami sembari duduk dibelakang suaminya yang sedang memboncengi. Kedua tangannya tanpa buang waktu langsung melingkari pinggang firman, mendekap dengan erat. Tanpa menunda lagi, apalagi hujan kian deras, firman dan linda lantas meluncur pergi.

Pak Tigor yang memandangi dari kejauhan raut mukanya terlihat kesal seolah-seolah ia baru saja diusili. Hujan yang seharusnya mendinginkan suasana, malah membuat hati pak tigor panas. Ia sebetulnya tak rela linda meninggalkannya, apalagi ia belum sempat berdialog dengan wanita itu. Gelisah jadinya pak tigor. Apalagi gara gara fantasinya ia jadi ereksi. Sekarang pula ereksi karena birahi itu terpaksa tertahan, sedangkan hasrat seksualnya terus meluap-luap.

"Awas kamu yaa linda hehe", tawa pak tigor seorang diri di pos keamanan tempat ia bekerja.

###​

Hujan pun terus mengguyur deras dan kini sudah merata ke seluruh wilayah. Awan yang kelabu dan langit yang hitam sedang menyambut malam yang akan segera tiba.

"Hoaaheeeemmm... udah mandi begini, suhu udara yang dingin, hawa yang sejuk, enaknya ngapain ya? Ah, ngantuk, asyiknya mendingan tidur nih, mumpung bapak belum pulang", ucapku.

Baru aku ingin tidur tiba-Tiba, 

"Assalamualaikum", ucap seorang wanita yang tampak masuk ke rumahku melalui pintu depan.

"Woaaahh tante linda!", teriakku girang dalam kamar seolah mengenali suaranya. 

###​

Bersambung

Astaga, bapak ! part 2

Matahari menyinari kota yang sedang memulai kesibukkannya. Anak-anak pergi ke sekolah. Ibu-ibu pergi berbelanja. Dan, Bapak-bapak yang pergi mencari nafkah untuk si ibu dan si anak. Di sisi lain, ada pula mereka yang sedang menikmati masa duduk di bangku kuliah, atau sedang menikmati masa muda mereka sebagai muda-mudi. Lainnya lagi, sedang menikmati kesendirian sambil mencari jodoh dan pekerjaan yang belum juga didapat.

"Bapak apa agak terlalu keras sama si yuda?", tanya Dahlia kepada suaminya sambil membereskan sisa-sisa sarapan.

"Enggak kok, bu. Lagipula, bapak gak pernah main fisik sama si yuda", balas suhardi yang sedang mengenakan sepatu kerjanya.

"Iya sih, pak. Tapi, bagaimanapun caramu mendidik yuda itu tetep aja aku bilang agak terlalu keras".

"Hmm bu, Bapak begitu, supaya anak kita gak jadi anak yang manja, supaya dia jadi anak disiplin dan tepat waktu juga. Ibu percaya deh sama bapak", ucap suhardi.

"Iya pak, ibu percaya sama bapak. Tapi, apa gak bisa dikurangin?".

"Bapak sih merasa gak perlu ada yang ditambah apalagi dikurangin, bu.. Yaudalah, nanti lagi aja kita bicarain tentang ini. Bapak mau berangkat kerja dulu", ujar suhardi selagi berdiri dan berjalan ke arah pintu ke luar rumahnya.

Pada pagi hari setelah anak mereka, yuda, berangkat sekolah, sepasang suami-istri, suhardi dan dahlia, sempat berdiskusi sejenak. Dahlia agaknya tidak tega yuda dididik keras oleh sang suami. Cara suaminya membentak-bentak dan memarahi yuda membuat wanita itu kasihan pada anaknya tersayang. Ia beranggapan kasih sayang dan kelembutanlah kunci mendidik anak. Ia tidak mau seorang anak stres di masa kecil dan mudanya. Ia juga tidak mau membuat seorang anak yang kerap melawan di dalam hati, yang bisa membuat emosi si anak meledak-ledak nantinya. Lain halnya dengan suhardi, ia menilai kalau cara istrinya itu bisa membuat seorang anak manja dan cenderung malas. Pemimpin rumah tangga itu meyakini bahwa mendidik anak dengan cara keras dapat menghasilkan karakter anak yang mentalnya kuat. Suhardi tidak mau juga yuda menjadi anak yang cengeng. Ia ingin yuda suatu hari nanti menjadi anak yang pekerja keras dan tahu bahwa menggapai cita-cita itu tidaklah mudah, bukan sekedar mimpi-mimpi di siang bolong.

"Kamu pulang jam berapa pak hari ini?", tanya dahlia sembari mengantar suaminya ke depan pintu keluar rumah mereka.

Malam nih bu, lembur, semalam bapak juga udah bilangkan kalau pekerjaan lagi numpuk".

"Oh".

"Yaudah deh bu, bapak berangkat dulu yaa... kamu baik-baik di rumah", ucap suhardi sambil mencium kening istrinya.

"Bapak juga di jalan hati-hati", pesan dahlia sambil menyalami dan mencium tangan sang suami.

Usai menyalami, Dahlia pun memperhatikan suaminya yang sedang mengenakan jaket dan helm. Dalam hati wanita itu ia berdoa supaya keselamatan menyertai sang suami. Dahlia tiba-tiba tersenyum. Ia tidak pernah menyangka bisa menjadi istri dari suami yang bertanggung jawab kepada keluarganya. Lelah letih suaminya membanting tulang. Tak kenal hujan dan panasnya terik matahari sang suami bekerja. Di rumah, sempat-sempatnya ia mendidik dan memperhatikan putra kesayangan mereka. Pada akhir pekan sang suami membantu mencuci pakaian mereka berdua. Memang sungguh tidak ada alasan untuk tidak bahagia meski kehidupan mereka tergolong sederhana. Begitulah pikir dahlia.

"Oh ya bu, semalam bapak kurang puas nih", ucap suhardi selagi menaiki dan memanaskan mesin motornya sebentar.

"Ishh sih bapak, pagi-pagi udah ngomong begituan".

"Kayak ibu gak kepengen aja...", ucap suhardi mencolek dagu sang istri.

"Ih si bapak malah colak-colek. Malu ah kalo ada yang ngelihatkan, pak".

"Ckck. Kapan-kapan bapak mau buat suasana baru buat kita bercinta bu", ucap suhardi sambil menunggu mesin motornya benar-benar panas.

"Aduh, si bapak malah lanjut ngomong beginian. Yaudah, yaudah, sana buruan berangkat deh, pak. Entar terlambat lagi", gerutu dahlia.

"Iya, iya, bu. bapak berangkat nih....", ucap suhardi mulai menggas motornya pelan-pelan.

"Hati-hati pak!".

###​

[​IMG]
Pak Tigor (Satpam Kantor Linda)

"Eh mba linda udah dateng. Pasti diantar suaminya ya?", senyum ramah seorang satpam kantor menyambut linda.

"Iya nih, pak tigor. Yuk, pak, linda masuk dulu". 

Itulah pak Tigor, satpam senior yang menjaga kantor dimana linda bekerja. Usia beliau hampir setengah abad. Namun, tubuhnya masih tetap berisi dengan lengan yang kekar dan berotot. Mukanya sangar, menandakan ia pantas menjaga keamanan hingga yang melihat pun segan untuk mencuri. Di lain hal, ia jago kelahi, makin menambah modal kuat ia berjaga dan melawan orang yang berniat jahat. Pak Tigor bertempat tinggal sementara di kantor linda, tepatnya di belakang, dekat gudang kantor. Ia sebenarnya berdomisili di Medan. Akan tetapi, nasibnya yang tidak mujur di sana membuat lelaki itu ikut kerabat istrinya pergi ke Jakarta. Mengadu nasib di jakarta memang tak mudah baginya, cukup lama ia menganggur dan melamar sana sini sambil membawa map, hingga pada akhirnya ia menemukan pekerjaan sebagai penjaga keamanan. Jerih payahnya sebagai satpam cukup ia syukuri untuk menghidupi dirinya pribadi dan sesekali mengirimkan uang buat keluarganya di Medan.

Dengan linda, hubungannya cukup akrab. Terlebih, selagi linda menunggu suaminya yang akan menjemput, pak tigor selalu menjadi teman wanita itu mengobrol di pos keamanan. Obrolan mereka beraneka ragam dari masalah kantor, karyawannya, para bos, bahkan hingga masalah pribadi mereka kerap bertukar cerita. Bagi linda, pak tigor ialah teman pengusir penat tentang masalah kantor. Bukannya apa-apa, kalau dengan suaminya linda kurang nyambung untuk membicarakan masalah kantor. Linda sendiri sempat ribut dengan suaminya yang ia kenal pencemburu. Sang suami, firman, meminta linda jangan terlalu dekat dengan pak tigor. Ucapan firman membuat linda seakan dibatasi dalam bergaul. Apalagi ia dekat dengan pak tigor. Linda berpendapat sang suami terlalu curiga negatif terhadap orang yang belum dikenalnya. Namun, pada akhirnya, firman melunak. Ia membiarkan linda bergaul sesukanya. Selain itu, Firman hanya tidak mau ribut-ribut dengan linda terus terjadi.

###​

[​IMG]
Rina

"Yud, kenapa muka lo suntuk begitu?", tanya rina padaku.

"biasa, bokap gue".

"Ohh".

Rina adalah teman sekolahku. Meski kelas kami berbeda, aku cukup dekat dengannya. Ya, karena aku dengannya pernah satu SD, SMP , dan sekarang aku satu SMA lagi dengannya. Di lain hal, rina ialah malaikat bagiku. Gadis cantik itu penolong di kala tugas turun bejibun. Ia juga kerap membimbing dan mengajariku ketika detik-detik ujian tiba-tiba. Selebihnya, ibu dari kami berdua berkawan dekat.

Nanar dan kelopak mata yang indah disertai wajah anggun dan cantiknya membuatku tak akan pernah bosan berbicara dengan rina. Aku lebih tinggi sedikit dari temanku itu. Lihat saja postur tubuhnya yang berubah seiring usianya yang mendewasa kian hari kian mengundang lelaki untuk menggoda. Kalau bahasa orang sekarang 'sex appeal' rina kuat sekali. Bahkan, kalau ia lewat di depan kelasku mungkin para lelaki muda tak berkedip dan ingin mengejar sembari merayu. Di sisi lain, para guru lelaki, baik yang muda maupun sudah berumur sering genit kepada rina. Memang, sejak SD rina sudah dipandang cantik. Pada saat SMP saja para pria muda yang tampan di sekolahku ngebet memacarinya. Namun, rina tetap ingin sendiri, enggan merajut cinta. Samahalnya ketika di SMA ini, rina tetap begitu.

Nah, yang membuat para lelaki iri terkadang memandang dengki ialah aku. Rina kerap ngobrol dan akrab denganku. Hubungan kami ya begitu sebatas teman baik. Kepadanya ku sering curahkan hati yang sedang galau. Sebaliknya pula rina begitu. Hal itu terjadi kalau kami sedang dalam momen kebersamaan, misalnya ketika rina sedang membimbingku menjelang ujian. Kali ini di sekolah, sebelum bel berbunyi, rina menghampiriku yang sedang duduk melamun seorang diri di kursi kayu panjang depan kelasku.

"Bokap lo marah-marahin lo lagi?", tanya rina dengan paras jelitanya 

"Enggak sih. Tapi gue gak suka aja kalo dia teriak teriak di rumah. Nyuruh begini. Nyuruh begitu", curhatku memandang lapangan yang luas.

"Itu berarti Bokap lo tuh sayang ma lo, yud", ucapnya meyakinkanku

"Iya, gue tahu. Tapi, ya begitu.....", aku terdiam lemas tak melanjutkan kalimat.

"Yud, yang sabar yah", ucap rina memegang pundak dan menatapku.

"krinnnnggg.......", bel elektronik yang bunyinya seperti lonceng berbunyi. Serentak semua siswa yang masih berada di luar kelas masuk. Ada yang berlari-lari karena baru datang. Ada pula yang berjalan santai karena baru dari kamar mandi atau kelas sebelahnya. Termasuk juga aku yang harus berpisah diri dengan Rina.

"Yaudah, yud, gue duluan l...", pamit rina beranjak meninggalkanku 

"yup".

###​

Waktu terus bergulir tanpa bisa dihentikan. Melewati batas mereka yang tak bisa memanfaatkannya. Melewati batas mereka yang mengharapkannya cepat berlalu. Pagi yang sejuk disertai angin sepoi-sepoi semilir bertiup pelan, terkadang kencang, seakan menggiring matahari yang siap memancarkan panasnya, lebih, dan lebih lagi. Ia bersiap menyambut siang yang terik. Lihat saja para manula yang rentan terkena pneumonia, yang sedang berjemur itu, yang berharap matahari mematikan kuman dan bakteri yang hinggap di dalam tubuh yang semakin menua, kini mereka sudah masuk ke rumahnya karena panasnya matahari kian naik. Suhu udara yang tadinya membuat pikiran tenang, mulai membuat pikiran kacau. Yang berlalu lalang saja mulai cepat-cepat menuju tempat tujuan, sisanya mampir sebentar di minimarket ber-AC untuk mendinginkan badan.

"Panas banget yaa cuaca...", ucap Dahlia melirik ke arah luar jendela rumahnya.

Selagi melirik ke luar jendela, Dahlia melihat orang yang mengemudikan motor bebek berhenti di depan rumahnya. Penasaran wanita itu. Ia coba pantau lebih jauh hingga orang tersebut membuka helm yang menutupi kepalanya. Melihat motor yang dikemudikan, Dahlia merasa tak asing. Terlebih, postur tubuh seseorang yang berkelamin pria itu mirip adiknya.

"Mbakkk..... ?!", sapa firman dengan senyuman hangat kepada kakak perempuannya.

"Eh, kamu, kirain mbak siapa...", lekas dahlia berjalan menyambut sang adik.

###​

"Huh, kalau begini gak usah masuk sekolah sekalian ajaa..., mana cuaca panas lagi", ucapku.

Panas terik matahari sedang membakar tubuhku sepulang sekolah. Memang baru saja aku naik angkot. Tapi, kalau sudah tahu pulang sekolah bakal cepat, aku menyesal. Mending aku tak masuk sekolah saja daripada membiarkan tubuhku terjemur di bawah matahari. Membuat kulit putihku yang sudah digariskan mengikuti turunan darah ibu menjadi turunan ayah yang berkulit sawo matang. Apalagi beban berat buku di dalam ransel yang kubawa makin membuat tubuh ini terasa lunglai.

Sambil berjalan kaki menuju rumah dan memaksa tubuh lunglai ini tetap tegak, kuteringat dengan gantungan pakaian misterius yang berada di belakang pintu kamar mandi. kiranya apa itu. apakah gantungan pakaian biasa. Hatiku janggal. Ada sesuatu yang aneh dengan gantungan pakaian tersebut. Hmmm...

"Motor siapa itu di depan rumah?".

Pikiranku teralihkan setelah melihat sebuah motor bebek yang terparkir di depan rumahku. Maka, Aku terhenti sejenak. Kucoba tebak-tebak siapa yang sedang mengunjungi rumahku. Ah, perasaanku tak ada orang yang mengunjungi rumah kalau bukan para tetangga. Namun, daripada penasaran, kucepatkan langkah kaki mendekat ke rumah tercinta. Makin mendekat makin kudengar suara yang agaknya kukenal. 

"Om firman?", sapaku ramah.

"Eh, yuda, baru pulang sekolah kamu?".

"Iya nih om". ucapku menyalami tangannya.

"Kamu kalo masuk ke rumah, lepas dulu dong sepatunya, yud", ucap ibu melihat aku yang masuk ke rumah tanpa melepas alas kaki.

"Eh iya, maaf bu. Soalnya, pas langsung lihat om firman tadi, refleks aja aku salaman".

"Yaudah, sekarang lepas dulu sepatu kamu", perintah ibu.

Itulah om firman, pamanku, adik kandung dari ibu. Kalau kata ibu, om firman dulu yang sering mengantar aku ketika mengenyam masa taman kanak-kanak. Akan tetapi, tak ada memoriku ingat tentang itu. Yang ku tahu sekedar adalah benar ia pamanku. Selebihnya, aku lebih ingat istrinya, tante linda. Tante lindalah yang lebih kuingat daripada om firman. Mulai dari cantiknya hingga buah dada tante linda yang sering terlihat menggantung kalau ia sudah mengenakan kaos u-neck. Tante linda juga yang terkadang menjadi bahan masturbasiku. Kalau sudah melihat dirinya, tidak kuat aku menatap terlalu lama, karena khawatir adik kecilku terbangun.

"Oh, tante linda. mengapa bukan kau yang ke sini", ucap penyesalan kecilku sembari mencopot satu demi satu alas kaki.

"Om, aku masuk dulu yaa..", ucapku sambil menenteng alas kaki yang kucopot.

"Iya yuda...", balasnya.

Kubiarkan ibu berbicara berdua dengan om firman di ruang tamu. Tampaknya pembicaraan mereka amat serius. Terlihat, tak ada senyum, tawa, apalagi canda yang kudengar dan kulihat. Namun, aku tidak mau turut campur. Aku lebih memilih mencari segelas air mineral demi membasahi kerongkonganku yang kering. Maka, kutaruh dulu sepatuku di rak. Selanjutnya kusempatkan sebentar masuk ke kamar untuk meletakkan ranselku di atas kasur. Barulah setelah itu, kulangkahkan kaki berjalan ke arah dapur, dimana gelas dan dispenser yang tak tercolok listrik berada.

"Gllekk....gleekkk.....ahhhhhh....", lega rasanya.

Segelas air yang kuminum tampak kurasa menyegarkan tubuh, meski itu air mineral biasa yang tak dingin. Kerongkonganku yang kering sudah kubasahi, rasanya seperti tanah tandus disirami air hujan. Sekarang aku berencana untuk tidur siang. Ah, dasar, malas sekali aku ini. Sepulang sekolah, aku malah langsung tidur siang. Mau bagaimana lagi, cuaca di luar panas sekali. Membuat aku malas untuk beraktivitas. Tak menunda-nunda lagi, aku berjalan ke arah kamarku. Namun, karena penasaran dengan pembicaraan serius om dan ibu, aku mencoba menguping diam-diam,

"Makanya anak kandungmu itu kamu urus, man. Malah kamu biarkan begitu saja, seperti membuang. Sekarang malah kalau mbak bilang, kamu lagi kena hukum karma", ucap ibu.

"Mbak sekarang lagi gak ada duit. Bukan berarti tidak mau membantu kamu, man", lanjut ibuku.

"hah? anak?".

Aku berhenti menguping. Buru-buru aku ke kamar. Sekarang ada lagi hal yang membuatku bingung. Kumelamun sejenak. Setahuku om firmankan itu belum punya anak, lantas yang dimaksudkan ibu tadi anak siapa. Belum selesai dengan laptop dan gantungan pakaian, kini aku dibuat bingung lagi dengan yang ibu ucapkan. 

"Hadeeh....mendingan gue tidur deh".

###​

[​IMG]
Arif

Jam istirahat kantor tiba. Para karyawan perusahaan serentak melepas lelah. Ada yang makan di luar. Ada yang makan di kantin kantor. Adapula yang membawa bekal. Tak hanya itu, banyak kaum pria berkemeja sedang merokok usai bekerja sembari mengobrol dengan sesamanya. Beberapa dari mereka menyeduh kopi. Beberapa lainnya meminum minuman ringan kaleng bersoda. Kaum wanitanya sedang menepi di kantin. Menyantap siang bersama sambil menyalurkan hobi mereka, ngerumpi. Beda dengan mereka, linda memakan sendirian bekal yang dibawanya dari rumah. Wanita itu sedang melakukan penghematan. Terlebih, uang kontrakkan rumahnya belum terbayar.

"Sendirian aja lin...", sapa teman kantor linda bernama Arif.

"Iya nih. Lagi pengen nyendiri aja".

"Guetl temenin, boleh?", ucap arif yang berkaca mata itu.

"boleh. sini duduk...".

Arif adalah teman linda. Mereka sudah berteman semenjak linda belum menikah. Hubungan keduanya cukup dekat. Sebelum menikah, linda suka curhat dengan arif. Namun pasca menikah sudah tidak lagi. Akan tetapi, keduanya tetap menjaga hubungan baik. Terlebih mereka teman satu kantor. Arif, statusnya membujang, sebenarnya dia sudah pernah punya pacar, bahkan sudah berencana menikah. Namun, harus batal karena pacarnya arif sudah dijodohkan oleh orang tuanya. Kini bujang itu sedang menikmati kesendiriannya selagi mencari 'tulang rusuk' yang akan dinikahkannya.

"Gue lagi bete nih sama Bu Juli, ngomel mulu kerjanya. Gue tahu sih di bos gue. Tapi, setidaknya dia ngertiinlah kalau anak buahnya itu sudah banyak dibebankan pekerjaan".

"Maksud lo, lo gak suka caranya bu juli? Aduh, linda, linda. Lo udah lama kerja di sini. Tapi, kayak karyawan baru aja..., lo tahu sendirikan memang bu juli begitu..", balas arif

"Iya sih rif... hmmm".

"Lo lagi ada masalah yaa?", terka arif menebak-nebak

"Enggak ah...".

"Linda, linda. gue kenal lo udah lama di kantor ini. Masih aja lo bohong... iya kan, lo lagi ada masalah?".

"hhhmmmm... iya, rif", jawab linda mengangguk.

Saat karyawan kantor sedang kumpul beramai-ramai, linda malah berduaan dengan teman lamanya si arif. Entah apa yang akan mereka berdua obrolkan selanjutnya.

Bersambung