Minggu, 19 Maret 2017

Astaga, bapak ! part 2

Matahari menyinari kota yang sedang memulai kesibukkannya. Anak-anak pergi ke sekolah. Ibu-ibu pergi berbelanja. Dan, Bapak-bapak yang pergi mencari nafkah untuk si ibu dan si anak. Di sisi lain, ada pula mereka yang sedang menikmati masa duduk di bangku kuliah, atau sedang menikmati masa muda mereka sebagai muda-mudi. Lainnya lagi, sedang menikmati kesendirian sambil mencari jodoh dan pekerjaan yang belum juga didapat.

"Bapak apa agak terlalu keras sama si yuda?", tanya Dahlia kepada suaminya sambil membereskan sisa-sisa sarapan.

"Enggak kok, bu. Lagipula, bapak gak pernah main fisik sama si yuda", balas suhardi yang sedang mengenakan sepatu kerjanya.

"Iya sih, pak. Tapi, bagaimanapun caramu mendidik yuda itu tetep aja aku bilang agak terlalu keras".

"Hmm bu, Bapak begitu, supaya anak kita gak jadi anak yang manja, supaya dia jadi anak disiplin dan tepat waktu juga. Ibu percaya deh sama bapak", ucap suhardi.

"Iya pak, ibu percaya sama bapak. Tapi, apa gak bisa dikurangin?".

"Bapak sih merasa gak perlu ada yang ditambah apalagi dikurangin, bu.. Yaudalah, nanti lagi aja kita bicarain tentang ini. Bapak mau berangkat kerja dulu", ujar suhardi selagi berdiri dan berjalan ke arah pintu ke luar rumahnya.

Pada pagi hari setelah anak mereka, yuda, berangkat sekolah, sepasang suami-istri, suhardi dan dahlia, sempat berdiskusi sejenak. Dahlia agaknya tidak tega yuda dididik keras oleh sang suami. Cara suaminya membentak-bentak dan memarahi yuda membuat wanita itu kasihan pada anaknya tersayang. Ia beranggapan kasih sayang dan kelembutanlah kunci mendidik anak. Ia tidak mau seorang anak stres di masa kecil dan mudanya. Ia juga tidak mau membuat seorang anak yang kerap melawan di dalam hati, yang bisa membuat emosi si anak meledak-ledak nantinya. Lain halnya dengan suhardi, ia menilai kalau cara istrinya itu bisa membuat seorang anak manja dan cenderung malas. Pemimpin rumah tangga itu meyakini bahwa mendidik anak dengan cara keras dapat menghasilkan karakter anak yang mentalnya kuat. Suhardi tidak mau juga yuda menjadi anak yang cengeng. Ia ingin yuda suatu hari nanti menjadi anak yang pekerja keras dan tahu bahwa menggapai cita-cita itu tidaklah mudah, bukan sekedar mimpi-mimpi di siang bolong.

"Kamu pulang jam berapa pak hari ini?", tanya dahlia sembari mengantar suaminya ke depan pintu keluar rumah mereka.

Malam nih bu, lembur, semalam bapak juga udah bilangkan kalau pekerjaan lagi numpuk".

"Oh".

"Yaudah deh bu, bapak berangkat dulu yaa... kamu baik-baik di rumah", ucap suhardi sambil mencium kening istrinya.

"Bapak juga di jalan hati-hati", pesan dahlia sambil menyalami dan mencium tangan sang suami.

Usai menyalami, Dahlia pun memperhatikan suaminya yang sedang mengenakan jaket dan helm. Dalam hati wanita itu ia berdoa supaya keselamatan menyertai sang suami. Dahlia tiba-tiba tersenyum. Ia tidak pernah menyangka bisa menjadi istri dari suami yang bertanggung jawab kepada keluarganya. Lelah letih suaminya membanting tulang. Tak kenal hujan dan panasnya terik matahari sang suami bekerja. Di rumah, sempat-sempatnya ia mendidik dan memperhatikan putra kesayangan mereka. Pada akhir pekan sang suami membantu mencuci pakaian mereka berdua. Memang sungguh tidak ada alasan untuk tidak bahagia meski kehidupan mereka tergolong sederhana. Begitulah pikir dahlia.

"Oh ya bu, semalam bapak kurang puas nih", ucap suhardi selagi menaiki dan memanaskan mesin motornya sebentar.

"Ishh sih bapak, pagi-pagi udah ngomong begituan".

"Kayak ibu gak kepengen aja...", ucap suhardi mencolek dagu sang istri.

"Ih si bapak malah colak-colek. Malu ah kalo ada yang ngelihatkan, pak".

"Ckck. Kapan-kapan bapak mau buat suasana baru buat kita bercinta bu", ucap suhardi sambil menunggu mesin motornya benar-benar panas.

"Aduh, si bapak malah lanjut ngomong beginian. Yaudah, yaudah, sana buruan berangkat deh, pak. Entar terlambat lagi", gerutu dahlia.

"Iya, iya, bu. bapak berangkat nih....", ucap suhardi mulai menggas motornya pelan-pelan.

"Hati-hati pak!".

###​

[​IMG]
Pak Tigor (Satpam Kantor Linda)

"Eh mba linda udah dateng. Pasti diantar suaminya ya?", senyum ramah seorang satpam kantor menyambut linda.

"Iya nih, pak tigor. Yuk, pak, linda masuk dulu". 

Itulah pak Tigor, satpam senior yang menjaga kantor dimana linda bekerja. Usia beliau hampir setengah abad. Namun, tubuhnya masih tetap berisi dengan lengan yang kekar dan berotot. Mukanya sangar, menandakan ia pantas menjaga keamanan hingga yang melihat pun segan untuk mencuri. Di lain hal, ia jago kelahi, makin menambah modal kuat ia berjaga dan melawan orang yang berniat jahat. Pak Tigor bertempat tinggal sementara di kantor linda, tepatnya di belakang, dekat gudang kantor. Ia sebenarnya berdomisili di Medan. Akan tetapi, nasibnya yang tidak mujur di sana membuat lelaki itu ikut kerabat istrinya pergi ke Jakarta. Mengadu nasib di jakarta memang tak mudah baginya, cukup lama ia menganggur dan melamar sana sini sambil membawa map, hingga pada akhirnya ia menemukan pekerjaan sebagai penjaga keamanan. Jerih payahnya sebagai satpam cukup ia syukuri untuk menghidupi dirinya pribadi dan sesekali mengirimkan uang buat keluarganya di Medan.

Dengan linda, hubungannya cukup akrab. Terlebih, selagi linda menunggu suaminya yang akan menjemput, pak tigor selalu menjadi teman wanita itu mengobrol di pos keamanan. Obrolan mereka beraneka ragam dari masalah kantor, karyawannya, para bos, bahkan hingga masalah pribadi mereka kerap bertukar cerita. Bagi linda, pak tigor ialah teman pengusir penat tentang masalah kantor. Bukannya apa-apa, kalau dengan suaminya linda kurang nyambung untuk membicarakan masalah kantor. Linda sendiri sempat ribut dengan suaminya yang ia kenal pencemburu. Sang suami, firman, meminta linda jangan terlalu dekat dengan pak tigor. Ucapan firman membuat linda seakan dibatasi dalam bergaul. Apalagi ia dekat dengan pak tigor. Linda berpendapat sang suami terlalu curiga negatif terhadap orang yang belum dikenalnya. Namun, pada akhirnya, firman melunak. Ia membiarkan linda bergaul sesukanya. Selain itu, Firman hanya tidak mau ribut-ribut dengan linda terus terjadi.

###​

[​IMG]
Rina

"Yud, kenapa muka lo suntuk begitu?", tanya rina padaku.

"biasa, bokap gue".

"Ohh".

Rina adalah teman sekolahku. Meski kelas kami berbeda, aku cukup dekat dengannya. Ya, karena aku dengannya pernah satu SD, SMP , dan sekarang aku satu SMA lagi dengannya. Di lain hal, rina ialah malaikat bagiku. Gadis cantik itu penolong di kala tugas turun bejibun. Ia juga kerap membimbing dan mengajariku ketika detik-detik ujian tiba-tiba. Selebihnya, ibu dari kami berdua berkawan dekat.

Nanar dan kelopak mata yang indah disertai wajah anggun dan cantiknya membuatku tak akan pernah bosan berbicara dengan rina. Aku lebih tinggi sedikit dari temanku itu. Lihat saja postur tubuhnya yang berubah seiring usianya yang mendewasa kian hari kian mengundang lelaki untuk menggoda. Kalau bahasa orang sekarang 'sex appeal' rina kuat sekali. Bahkan, kalau ia lewat di depan kelasku mungkin para lelaki muda tak berkedip dan ingin mengejar sembari merayu. Di sisi lain, para guru lelaki, baik yang muda maupun sudah berumur sering genit kepada rina. Memang, sejak SD rina sudah dipandang cantik. Pada saat SMP saja para pria muda yang tampan di sekolahku ngebet memacarinya. Namun, rina tetap ingin sendiri, enggan merajut cinta. Samahalnya ketika di SMA ini, rina tetap begitu.

Nah, yang membuat para lelaki iri terkadang memandang dengki ialah aku. Rina kerap ngobrol dan akrab denganku. Hubungan kami ya begitu sebatas teman baik. Kepadanya ku sering curahkan hati yang sedang galau. Sebaliknya pula rina begitu. Hal itu terjadi kalau kami sedang dalam momen kebersamaan, misalnya ketika rina sedang membimbingku menjelang ujian. Kali ini di sekolah, sebelum bel berbunyi, rina menghampiriku yang sedang duduk melamun seorang diri di kursi kayu panjang depan kelasku.

"Bokap lo marah-marahin lo lagi?", tanya rina dengan paras jelitanya 

"Enggak sih. Tapi gue gak suka aja kalo dia teriak teriak di rumah. Nyuruh begini. Nyuruh begitu", curhatku memandang lapangan yang luas.

"Itu berarti Bokap lo tuh sayang ma lo, yud", ucapnya meyakinkanku

"Iya, gue tahu. Tapi, ya begitu.....", aku terdiam lemas tak melanjutkan kalimat.

"Yud, yang sabar yah", ucap rina memegang pundak dan menatapku.

"krinnnnggg.......", bel elektronik yang bunyinya seperti lonceng berbunyi. Serentak semua siswa yang masih berada di luar kelas masuk. Ada yang berlari-lari karena baru datang. Ada pula yang berjalan santai karena baru dari kamar mandi atau kelas sebelahnya. Termasuk juga aku yang harus berpisah diri dengan Rina.

"Yaudah, yud, gue duluan l...", pamit rina beranjak meninggalkanku 

"yup".

###​

Waktu terus bergulir tanpa bisa dihentikan. Melewati batas mereka yang tak bisa memanfaatkannya. Melewati batas mereka yang mengharapkannya cepat berlalu. Pagi yang sejuk disertai angin sepoi-sepoi semilir bertiup pelan, terkadang kencang, seakan menggiring matahari yang siap memancarkan panasnya, lebih, dan lebih lagi. Ia bersiap menyambut siang yang terik. Lihat saja para manula yang rentan terkena pneumonia, yang sedang berjemur itu, yang berharap matahari mematikan kuman dan bakteri yang hinggap di dalam tubuh yang semakin menua, kini mereka sudah masuk ke rumahnya karena panasnya matahari kian naik. Suhu udara yang tadinya membuat pikiran tenang, mulai membuat pikiran kacau. Yang berlalu lalang saja mulai cepat-cepat menuju tempat tujuan, sisanya mampir sebentar di minimarket ber-AC untuk mendinginkan badan.

"Panas banget yaa cuaca...", ucap Dahlia melirik ke arah luar jendela rumahnya.

Selagi melirik ke luar jendela, Dahlia melihat orang yang mengemudikan motor bebek berhenti di depan rumahnya. Penasaran wanita itu. Ia coba pantau lebih jauh hingga orang tersebut membuka helm yang menutupi kepalanya. Melihat motor yang dikemudikan, Dahlia merasa tak asing. Terlebih, postur tubuh seseorang yang berkelamin pria itu mirip adiknya.

"Mbakkk..... ?!", sapa firman dengan senyuman hangat kepada kakak perempuannya.

"Eh, kamu, kirain mbak siapa...", lekas dahlia berjalan menyambut sang adik.

###​

"Huh, kalau begini gak usah masuk sekolah sekalian ajaa..., mana cuaca panas lagi", ucapku.

Panas terik matahari sedang membakar tubuhku sepulang sekolah. Memang baru saja aku naik angkot. Tapi, kalau sudah tahu pulang sekolah bakal cepat, aku menyesal. Mending aku tak masuk sekolah saja daripada membiarkan tubuhku terjemur di bawah matahari. Membuat kulit putihku yang sudah digariskan mengikuti turunan darah ibu menjadi turunan ayah yang berkulit sawo matang. Apalagi beban berat buku di dalam ransel yang kubawa makin membuat tubuh ini terasa lunglai.

Sambil berjalan kaki menuju rumah dan memaksa tubuh lunglai ini tetap tegak, kuteringat dengan gantungan pakaian misterius yang berada di belakang pintu kamar mandi. kiranya apa itu. apakah gantungan pakaian biasa. Hatiku janggal. Ada sesuatu yang aneh dengan gantungan pakaian tersebut. Hmmm...

"Motor siapa itu di depan rumah?".

Pikiranku teralihkan setelah melihat sebuah motor bebek yang terparkir di depan rumahku. Maka, Aku terhenti sejenak. Kucoba tebak-tebak siapa yang sedang mengunjungi rumahku. Ah, perasaanku tak ada orang yang mengunjungi rumah kalau bukan para tetangga. Namun, daripada penasaran, kucepatkan langkah kaki mendekat ke rumah tercinta. Makin mendekat makin kudengar suara yang agaknya kukenal. 

"Om firman?", sapaku ramah.

"Eh, yuda, baru pulang sekolah kamu?".

"Iya nih om". ucapku menyalami tangannya.

"Kamu kalo masuk ke rumah, lepas dulu dong sepatunya, yud", ucap ibu melihat aku yang masuk ke rumah tanpa melepas alas kaki.

"Eh iya, maaf bu. Soalnya, pas langsung lihat om firman tadi, refleks aja aku salaman".

"Yaudah, sekarang lepas dulu sepatu kamu", perintah ibu.

Itulah om firman, pamanku, adik kandung dari ibu. Kalau kata ibu, om firman dulu yang sering mengantar aku ketika mengenyam masa taman kanak-kanak. Akan tetapi, tak ada memoriku ingat tentang itu. Yang ku tahu sekedar adalah benar ia pamanku. Selebihnya, aku lebih ingat istrinya, tante linda. Tante lindalah yang lebih kuingat daripada om firman. Mulai dari cantiknya hingga buah dada tante linda yang sering terlihat menggantung kalau ia sudah mengenakan kaos u-neck. Tante linda juga yang terkadang menjadi bahan masturbasiku. Kalau sudah melihat dirinya, tidak kuat aku menatap terlalu lama, karena khawatir adik kecilku terbangun.

"Oh, tante linda. mengapa bukan kau yang ke sini", ucap penyesalan kecilku sembari mencopot satu demi satu alas kaki.

"Om, aku masuk dulu yaa..", ucapku sambil menenteng alas kaki yang kucopot.

"Iya yuda...", balasnya.

Kubiarkan ibu berbicara berdua dengan om firman di ruang tamu. Tampaknya pembicaraan mereka amat serius. Terlihat, tak ada senyum, tawa, apalagi canda yang kudengar dan kulihat. Namun, aku tidak mau turut campur. Aku lebih memilih mencari segelas air mineral demi membasahi kerongkonganku yang kering. Maka, kutaruh dulu sepatuku di rak. Selanjutnya kusempatkan sebentar masuk ke kamar untuk meletakkan ranselku di atas kasur. Barulah setelah itu, kulangkahkan kaki berjalan ke arah dapur, dimana gelas dan dispenser yang tak tercolok listrik berada.

"Gllekk....gleekkk.....ahhhhhh....", lega rasanya.

Segelas air yang kuminum tampak kurasa menyegarkan tubuh, meski itu air mineral biasa yang tak dingin. Kerongkonganku yang kering sudah kubasahi, rasanya seperti tanah tandus disirami air hujan. Sekarang aku berencana untuk tidur siang. Ah, dasar, malas sekali aku ini. Sepulang sekolah, aku malah langsung tidur siang. Mau bagaimana lagi, cuaca di luar panas sekali. Membuat aku malas untuk beraktivitas. Tak menunda-nunda lagi, aku berjalan ke arah kamarku. Namun, karena penasaran dengan pembicaraan serius om dan ibu, aku mencoba menguping diam-diam,

"Makanya anak kandungmu itu kamu urus, man. Malah kamu biarkan begitu saja, seperti membuang. Sekarang malah kalau mbak bilang, kamu lagi kena hukum karma", ucap ibu.

"Mbak sekarang lagi gak ada duit. Bukan berarti tidak mau membantu kamu, man", lanjut ibuku.

"hah? anak?".

Aku berhenti menguping. Buru-buru aku ke kamar. Sekarang ada lagi hal yang membuatku bingung. Kumelamun sejenak. Setahuku om firmankan itu belum punya anak, lantas yang dimaksudkan ibu tadi anak siapa. Belum selesai dengan laptop dan gantungan pakaian, kini aku dibuat bingung lagi dengan yang ibu ucapkan. 

"Hadeeh....mendingan gue tidur deh".

###​

[​IMG]
Arif

Jam istirahat kantor tiba. Para karyawan perusahaan serentak melepas lelah. Ada yang makan di luar. Ada yang makan di kantin kantor. Adapula yang membawa bekal. Tak hanya itu, banyak kaum pria berkemeja sedang merokok usai bekerja sembari mengobrol dengan sesamanya. Beberapa dari mereka menyeduh kopi. Beberapa lainnya meminum minuman ringan kaleng bersoda. Kaum wanitanya sedang menepi di kantin. Menyantap siang bersama sambil menyalurkan hobi mereka, ngerumpi. Beda dengan mereka, linda memakan sendirian bekal yang dibawanya dari rumah. Wanita itu sedang melakukan penghematan. Terlebih, uang kontrakkan rumahnya belum terbayar.

"Sendirian aja lin...", sapa teman kantor linda bernama Arif.

"Iya nih. Lagi pengen nyendiri aja".

"Guetl temenin, boleh?", ucap arif yang berkaca mata itu.

"boleh. sini duduk...".

Arif adalah teman linda. Mereka sudah berteman semenjak linda belum menikah. Hubungan keduanya cukup dekat. Sebelum menikah, linda suka curhat dengan arif. Namun pasca menikah sudah tidak lagi. Akan tetapi, keduanya tetap menjaga hubungan baik. Terlebih mereka teman satu kantor. Arif, statusnya membujang, sebenarnya dia sudah pernah punya pacar, bahkan sudah berencana menikah. Namun, harus batal karena pacarnya arif sudah dijodohkan oleh orang tuanya. Kini bujang itu sedang menikmati kesendiriannya selagi mencari 'tulang rusuk' yang akan dinikahkannya.

"Gue lagi bete nih sama Bu Juli, ngomel mulu kerjanya. Gue tahu sih di bos gue. Tapi, setidaknya dia ngertiinlah kalau anak buahnya itu sudah banyak dibebankan pekerjaan".

"Maksud lo, lo gak suka caranya bu juli? Aduh, linda, linda. Lo udah lama kerja di sini. Tapi, kayak karyawan baru aja..., lo tahu sendirikan memang bu juli begitu..", balas arif

"Iya sih rif... hmmm".

"Lo lagi ada masalah yaa?", terka arif menebak-nebak

"Enggak ah...".

"Linda, linda. gue kenal lo udah lama di kantor ini. Masih aja lo bohong... iya kan, lo lagi ada masalah?".

"hhhmmmm... iya, rif", jawab linda mengangguk.

Saat karyawan kantor sedang kumpul beramai-ramai, linda malah berduaan dengan teman lamanya si arif. Entah apa yang akan mereka berdua obrolkan selanjutnya.

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar